Oleh: KH Tengku Zulkarnain***
Menjadi pemimpin berarti telah memikul sebuah beban yang sangat berat dan kelak pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat. Meskipun demikian, ternyata berjuta-juta orang hari ini masih bermimpi dan berjuang keras untuk menduduki kursi dan jabatan sebagai seorang pemimpin. Padahal, memimpin diri sendiri dan keluarga saja susahnya bukan main, apalagi jika mesti memimpin ratusan juta manusia dari beragam suku dan golongan yang berbeda kelas pendidikan, sikap, dan kebiasaan.
Rasulullah bersabda: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum tersebut". (HR Abu Nu'aim). Sayangnya, hari ini banyak pemimpin yang justru bersikap sebaliknya. Mereka malah memperalat kaum yang dipimpinnya untuk kepentingan diri, keluarga, partai, dan golongannya sendiri. Sangat langka sosok pemimpin idaman yang muncul ke permukaan dan bersikap seumpama pelayan kaumnya, seperti cerminan hadis di atas.
Sesungguhnya menjadi pemimpin tidaklah seenak yang dibayangkan para pemburu kekuasaan. Di dalam Alquran, Allah menceritakan orang-orang yang bermartabat tinggi. Dan, dalam salah satu doa, mereka meminta agar diangkat menjadi seorang pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa: "Waj'alna li al-muttaqina immama" (al-Furqan ayat [25]: 74).
Mengapa mereka hanya meminta kepada Allah untuk menjadi pemimpin bagi orang yang bertakwa? Ternyata menjadi pemimpin bagi orang-orang durhaka dan kufur nikmat sama sekali tidak menyenangkan. Jika sang pemimpin berbuat baik kepada mereka, mereka tidak mensyukurinya, bahkan sebaliknya malah mencelanya. Akan tetapi, jika sang pemimpin berbuat kesalahan kecil saja, mereka akan ramai-ramai menghujat, memaki, menghina, dan kalau memungkinkan membunuhnya. Tegasnya, menjadi pemimpin orang-orang durhaka, hanya lebih banyak mendapatkan sakit hati daripada mendapatkan nikmatnya.
Lantas mengapa berjuta-juta manusia masih saja haus kursi kekuasaan? Tidak lain penyebabnya adalah karena besarnya gelora nafsu dalam dada mereka.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu 'Anhum, hampir 100 persen umat di masa itu terdiri atas orang-orang yang bertakwa. Bahkan, Allah memuji mereka sebagai orang-orang yang diridai-Nya (QS at-Taubah [9]: 100).
Para Khalifah khususnya Abu Bakar dan Umar merasakan nikmatnya menjadi pemimpin atas orang-orang yang bertakwa itu. Sedangkan Utsman dan Ali mulai mengalami gejolak dengan munculnya orang-orang durhaka meskipun masih dalam jumlah minoritas. Kenyataannya, walaupun manusia durhaka pada zaman itu hanya segelintir jumlahnya, ternyata keempat pemimpin yang mulia itu justru mati dibunuh oleh manusia-manusia durhaka itu.
Bagaimana dengan negeri kita tercinta ini? Apakah lebih banyak orang salehnya daripada mereka yang durhaka? Jika kita jujur menilai, pasti jawaban yang diperoleh sudah sama-sama dimaklumi. Lantas jika sudah maklum akan jawabannya, masihkah kita bermimpi untuk memburu kursi kekuasaan? Wallahu a'lam bishawab.
Menjadi pemimpin berarti telah memikul sebuah beban yang sangat berat dan kelak pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat. Meskipun demikian, ternyata berjuta-juta orang hari ini masih bermimpi dan berjuang keras untuk menduduki kursi dan jabatan sebagai seorang pemimpin. Padahal, memimpin diri sendiri dan keluarga saja susahnya bukan main, apalagi jika mesti memimpin ratusan juta manusia dari beragam suku dan golongan yang berbeda kelas pendidikan, sikap, dan kebiasaan.
Rasulullah bersabda: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum tersebut". (HR Abu Nu'aim). Sayangnya, hari ini banyak pemimpin yang justru bersikap sebaliknya. Mereka malah memperalat kaum yang dipimpinnya untuk kepentingan diri, keluarga, partai, dan golongannya sendiri. Sangat langka sosok pemimpin idaman yang muncul ke permukaan dan bersikap seumpama pelayan kaumnya, seperti cerminan hadis di atas.
Sesungguhnya menjadi pemimpin tidaklah seenak yang dibayangkan para pemburu kekuasaan. Di dalam Alquran, Allah menceritakan orang-orang yang bermartabat tinggi. Dan, dalam salah satu doa, mereka meminta agar diangkat menjadi seorang pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa: "Waj'alna li al-muttaqina immama" (al-Furqan ayat [25]: 74).
Mengapa mereka hanya meminta kepada Allah untuk menjadi pemimpin bagi orang yang bertakwa? Ternyata menjadi pemimpin bagi orang-orang durhaka dan kufur nikmat sama sekali tidak menyenangkan. Jika sang pemimpin berbuat baik kepada mereka, mereka tidak mensyukurinya, bahkan sebaliknya malah mencelanya. Akan tetapi, jika sang pemimpin berbuat kesalahan kecil saja, mereka akan ramai-ramai menghujat, memaki, menghina, dan kalau memungkinkan membunuhnya. Tegasnya, menjadi pemimpin orang-orang durhaka, hanya lebih banyak mendapatkan sakit hati daripada mendapatkan nikmatnya.
Lantas mengapa berjuta-juta manusia masih saja haus kursi kekuasaan? Tidak lain penyebabnya adalah karena besarnya gelora nafsu dalam dada mereka.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu 'Anhum, hampir 100 persen umat di masa itu terdiri atas orang-orang yang bertakwa. Bahkan, Allah memuji mereka sebagai orang-orang yang diridai-Nya (QS at-Taubah [9]: 100).
Para Khalifah khususnya Abu Bakar dan Umar merasakan nikmatnya menjadi pemimpin atas orang-orang yang bertakwa itu. Sedangkan Utsman dan Ali mulai mengalami gejolak dengan munculnya orang-orang durhaka meskipun masih dalam jumlah minoritas. Kenyataannya, walaupun manusia durhaka pada zaman itu hanya segelintir jumlahnya, ternyata keempat pemimpin yang mulia itu justru mati dibunuh oleh manusia-manusia durhaka itu.
Bagaimana dengan negeri kita tercinta ini? Apakah lebih banyak orang salehnya daripada mereka yang durhaka? Jika kita jujur menilai, pasti jawaban yang diperoleh sudah sama-sama dimaklumi. Lantas jika sudah maklum akan jawabannya, masihkah kita bermimpi untuk memburu kursi kekuasaan? Wallahu a'lam bishawab.
Red: Siwi Tri Puji B