Kompas (11/11/09) memuat tulisan tentang pelabuhan Cimanuk yang ditulis Litbang Kompas. Meski disajikan secara sekilas, tulisan itu setidaknya memiliki beberapa makna: Mengingatkan betapa pentingnya peran pelabuhan Cimanuk sejak abad ke-16, bagaimana terjadinya nama-nama desa di sekitarnya, dan akulturasi yang terjadi antara pedagang Arab, India, dan Cina dengan masyarakat pribumi.
Pengelana Portugis, Tome Pires (1513) mencatatnya sebagai pelabuhan kedua terbesar setelah Sunda Kelapa, di antara empat pelabuhan lainnya yang dikuasai Kerajaan Sunda (abad ke-8 – ke-17). Peta Pulau Jawa dalam buku Da Asia, Decada IV (Barros, ed. Joao Baptista Lavanha: 1615)
Pada masa itu, badan Sungai Cimanuk cukup lebar sehingga dapat dilalui kapal dari lepas pantai hingga menuju pusat kota di Desa Dermayu. Lokasi pelabuhan diperkirakan terletak di Kecamatan Pasekan. Di wilayah ini terdapat tiga desa yang merujuk pada kegiatan pelabuhan. Desa Pabean berasal dari kata bea yang berarti pajak atau cukai. Desa Pagirikan berasal dari kata girik yang merujuk pada surat izin keluar masuk daerah pelabuhan. Desa Pasekan berasal dari pasek yang berarti penyimpanan barang bongkar muat kapal. Maraknya kegiatan pelabuhan meluas hingga Desa Paoman, Kecamatan Indramayu. Paoman berasal dari kata omah yang merupakan perumahan para pegawai Pabean.
Akulturasi
Jika merujuk pada budaya air --yang salah satunya adalah sungai sebagai magnet kehidupan-- Cimanuk bahkan menggerakkan roda ekonomi, sosial, budaya, dan pemerintahan. Komunitas pecinan terbentuk di sebelah timur sungai Cimanuk, disertai dengan artefak pendukungnya, seperti rumah-rumah berarsitektur Cina, gudang beras dan garam, kelenteng, gereja, dan sekolah misi zending. Tahun 1678, menurut babad Dermayu, seorang Tionghoa menjadi syahbandar pelabuhan. Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Prof. Kong Yuanzhi) menyebut Gereja Kristen Indonesia (GKI) Indramayu adalah geraja pertama di Indonesia yang didirikan oleh jemaat Tionghoa tahun 1830.
Di sebelah barat maupun timur sungai Cimanuk, terdapat perkampungan Arab, dengan hiruk-pikuk perdagangan khas, seperti minyak wangi, karpet, hingga meubeler. Di sebelah barat pula, konon pada abad ke-16, dibangun pusat pemerintahan pertama oleh Wiralodra dan mesjid tertua di Indramayu yang terletak di Desa Dermayu.
Oleh karena faktor alam, pusat pemerintahan itu dipindahkan ke sebelah barat. Pemindahan itu juga disertai dengan gedung-gedung lainnya yang mencirikan Indramayu sebagai kota Islam di Jawa. Ciri-ciri itu antara lain alun-alun berada di depan pendopo/pusat pemerintahan, sebelah barat adalah mesjid agung, sebelah timur merupakan kantor pengadilan dan penjara, sebelah utara sangat mungkin pasar dan stasiun kereta api. Pada zaman penjajahan Belanda, kantor Assisten Residen juga didirikan di sebelah barat Cimanuk, kini termasuk Desa Penganjang.
Akulturasi berbagai bangsa dan masyarakat pribumi hingga kini berjalin tanpa ada konflik. Warna-warni itu seperti mengerucut pada kultur yang men-Dermayu. Hal ini sangat tampak pada penguasaan dan kebiasaan penggunaan bahasa Cerbon-Dermayu dengan dialek khasnya.
Tinggal kenangan
Fakta-fakta arkeologis sebagai benda cagar budaya, sebagian kini tak terawat atau hancur. Kebesaran pelabuhan Cimanuk dan sungainya bahkan tinggal kenangan. Bekas pelabuhan tak tersisa. Gudang beras dan garam terbengkalai. Mesjid tertua di Desa Dermayu sudah direnovasi secara modern. Stasiun kereta api disulap menjadi salon kecantikan. Patok kayu bekas penambat kapal di belakang mesjid agung, entah siapa yang mencabutnya. Gedung Assisten Residen tak terurus. Alun-alun kota, salah satu icon kota Islam-Jawa dan sebagai ruang interaksi sosial-budaya, kini dipagar seperti benteng.
Makam Arya Wiralodra, pendiri Indramayu, di tepi barat sungai Cimanuk atau blok Krapyak Sindang, baru selesai dipugar. Tinggalan arkeologi berupa fondasi lama yang ditandai dengan batu-bata berukuran tiga kali lebih besar daripada batu-bata model sekarang, justru dibuang dan diganti fondasi baru.
Sangat dikhawatirkan apabila banyak bangunan lama dibongkar atau direnovasi dengan arsitektur baru, maka sejarah kota tersebut juga akan hilang. Kota yang tidak lagi memiliki monumen bangunan lama adalah kota yang tidak memiliki lagi sejarahnya, yang kehilangan jatidirinya, akar sejarahnya telah tercerabut hilang. Yang ada sekarang, seakan-akan kota baru yang didirikan dalam masa kekinian.
Memang jatuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579, pelabuhan dikuasai Cirebon, kemudian jatuh ke tangan Belanda pada abad ke-17. Fakta sejarah juga menujukkan peran pelabuhan surut, saat Jalan Raya Pos dan jalur kereta api membuat pengangkutan barang lebih banyak melalui jalan darat. Pelabuhan makin terbengkalai ketika pecah Perang Dunia II (1938-1945) dan perang revolusi kemerdekaan (1945-1950).
Pelabuhan itu lenyap sama sekali, bahkan sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu juga ”dimatikan” pada dekade 1980. Cimanuk dianggap penyebab banjir bagi kota Indramayu pada musim hujan, Cimanuk juga dianggap pemisah wilayah kota dengan sebelah baratnya, bahkan Cimanuk dianggap tak mendukung estetika kota. Solusinya saat itu adalah aliran dibelokkan menuju laut lepas, menghindari kota Indramayu.
Tak seperti sungai Musi bagi Palembang atau sungai Chao Praya di Bangkok yang disikapi sebagai tinggalan sejarah dan diolah menjadi aset wisata, Cimanuk dibunuh dan menemui ajalnya. Diputusnya aliran Cimanuk ke kota Indramayu tak hanya menandakan putusnya gugusan sejarah. Lebih dari itu secara ekologi, sungai itu tak bersahabat lagi. Nyamuk amat suka berdiam, bercengkerama, bertelur, dan berkembang-biak di genangan bekas sungai bersejarah itu.
Sumber:Penulis,SUPALI KASIM, peminat sejarah, mantan Ketua Dewan Kesenian Indramayu
Via ,WWW.salakanegara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar