Sabtu, 25 September 2010

Penyederhanaan Rupiah, Apa Pentingnya?

Tak sekadar memicu kecaman dari ekonom, juga mengagetkan pemerintah. Kenapa BI ngotot?
 
Heri Susanto, Agus Dwi Darmawan, Nur Farida Ahniar
  (Antara/Yudhi Mahatma)
BERITA TERKAIT
VIVAnews - Kajian bank sentral soal redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah menimbulkan kontroversi. Pasalnya, wacana ini muncul dalam situasi yang tidak tepat, apalagi petinggi ekonomi pemerintah malah tidak mengetahui. Sejumlah kalangan sontak mengkritik wacana tersebut. 

"Redenominasi tidak perlu dilakukan. Sebab, itu tidak berarti apa-apa, juga tidak ada gunanya," ujar Kepala Ekonom Grup Bank Mandiri, Mirza Adityaswara, kepada VIVAnews di Jakarta, Selasa, 3 Agustus 2010.

Redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Maksudnya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, sedangkan Rp1 juta menjadi Rp1.000.

Untuk mempermudah pengertiannya, Gubernur BI Darmin Nasution memberikan contoh. Misalnya, membeli barang dengan harga Rp300 ribu memakai pecahan uang lama akan sama dengan Rp300 memakai pecahan uang baru. Jumlah barang yang diperoleh juga sama. Begitupun dengan gaji Rp5 juta dengan uang pecahan lama akan sama dengan Rp5.000 dalam uang baru.

Namun, menurut Mirza, sekarang bukan saatnya untuk membahas redenominasi. Yang lebih penting dipikirkan BI adalah bagaimana mengendalikan laju inflasi yang tinggi, pendanaan infrastruktur dan banyaknya undisbursed loan atau kredit yang tidak dicairkan.

Bayangkan, pada Juli saja, inflasi mencapai 1,57 persen atau tertinggi sepanjang 2010. Inflasi Januari-Juli juga sudah mencapai 4,02 persen. "Jadi, jangan cuma bikin masyarakat resah, ada yang lebih penting dibahas. Ini, masalah inflasi tinggi jauh lebih penting dipikirkan karena bisa membuat suku bunga naik lagi."

Protes serupa juga datang dari Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa. Dia malah bertanya-tanya mengapa BI memunculkan wacana itu di tengah masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan.
"Yang lebih penting adalah membereskan turunnya suku bunga kredit atau memperbaiki intermediasi bank," kata Yudhi. "Redenominasi malah bisa kacaukan ekonomi jika sosialisasinya tidak baik."

Bukan cuma ekonom yang protes, sejumlah petinggi ekonomi pemerintah juga kaget. Meski tidak secara langsung menohok BI, Wakil Presiden Boediono menekankan dalam situasi saat ini yang paling penting dijaga adalah ketenangan dan kestabilan ekonomi.
"Yang perlu diwaspadai adalah masalah inflasi," kata Boediono. "Jangan terpengaruh hasil study BI. Yang perlu sekarang adalah memperlancar arus suplai barang-barang kebutuhan pokok agar harganya stabil."  

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan dirinya belum mendengar rencana BI tersebut, dan justru bertanya kepada wartawan "Ah gak mungkin, masa sih?" ujar Agus. Entah bermaksud meledek atau tidak, Agus mengatakan, "Maksudnya dia (BI) mungkin mengeluarkan uang koin. Aku bahas dengan BI dulu ya, aku tidak tahu ya...maksud kalian apa."

Begitu halnya dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Dia bukan sekedar tak mendengar, tetapi juga menegaskan pemerintah tak punya agenda itu. Bahkan, ia melarang wacana itu dipolemikkan menjadi isu nasional.
"Sebab, masyarakat sudah berpikir sanering (pemotongan uang). Itu banyak berpikir salah," kata Hatta di Kantor Menko Perekonomian, Selasa 3 Juli 2010.

Kenapa Ngotot
Namun, bagi BI membahas masalah redenominasi juga penting, seperti halnya menurunkan suku bunga. Menurut Darmin, wacana ini dilemparkan karena harus dibicarakan mulai sekarang.

"Ada yang bertanya mengapa mesti bicarakan redenominasi, mengapa bukan menurunkan suku bunga? Ini perlu dibicarakan sekarang karena perlu waktu 5-10 tahun," ujar Darmin Nasution, di Jakarta, Selasa 3 Agustus 2010.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi menambahkan keputusan redenominasi bukan hanya keputusan ekonomi, namun juga keputusan politik. Sesudah BI menyelesaikan kajian, bank sentral akan melaporkan ke Presiden. Sehingga keputusannya tak hanya di BI namun juga presiden dan DPR.

"Karena ini harus dilengkapi perundang-undangan di DPR, ini keputusan semua, ekonomi dan politik," tegasnya.
Apalagi, Rancangan Undang-Undang soal Mata Uang sedang dibahas DPRs sehingga dibutuhkan dasar hukum yang kuat agar redenominasi bisa berjalan dengan baik.  Bahkan, BI menyebutkan sejumlah alasan mengapa redenominasi perlu dilakukan.

Pertama
, mengatasi inefisiensi akibat semakin tingginya waktu dan biaya transaksi karena nilainya semakin lama semakin besar. "Bayangkan, dengan transaksi tunai puluhan juta rupiah, anda perlu bawa tas, secara psikologis itu membuat rasa tidak aman."

Kedua,
soal inefisiensi infrastruktur sistem pembayaran yang tentunya membutuhkan biaya besar. Selama ini, beberapa digit angka yang panjang telah merepotkan. Argometer taksi misalnya, dalam pembayaran Rp120 ribu, tertera 120.000. Toko-toko kecil mesin hitung yang mereka miliki juga memiliki batasan digit.

Ketiga, mata uang rupiah mempunyai kendala dalam pencatatan pembukuan. Sebab, digit yang semakin banyak memiliki risiko kesalahan lebih tinggi. Tentunya bila salah akan menyebabkan biaya yang lebih tinggi.

Keempat, Indonesia akan memasuki komunitas ekonomi Asean pada 2015. Tentunya, kata Darmin, akan lebih baik jika satuan mata uang Indonesia setara dengan negara-negara Asean tersebut. Saat ini, nilai mata uang Indonesia adalah terbesar ketiga setelah Zimbabwe dan Vietnam.

Toh, kata Darmin, penyederhanaan mata uang rupiah bukan dilakukan sekarang, tetapi ada tahapannya dan membutuhkan proses waktu yang panjang dari 2011 hingga 2020. Terlebih lagi, redenominasi itu berbeda dengan sanering.
Redenominasi tidak akan mengubah nilai uang, sedangkan sanering akan membuat nilai uang berkurang dari nilai semula. Selain itu, redenominasi dilakukan saat kondisi ekonomi stabil, sedangkan sanering dilakukan saat ekonomi tidak stabil dan inflasi tinggi.

"Jadi, masyarakat tidak usah resah dan gelisah, karena tidak ada yang dirugikan," kata Darmin.
• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cbox