Selasa, 28 Desember 2010

Final piala AFF Leg ke-2 .'Jangan Rusak Stadion Kita'

Pemburu tiket menduduki Stadion GBK saat antre tiket
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Indonesia menghadapi leg kedua final Piala AFF 2010 yang digelar Rabu (28/12) dengan posisi tertinggal 0-3 dari Malaysia. Sulitnya peluang untuk menang memunculkan kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan di Stadion Gelora Bung Karno pada Rabu (29/12) mendatang.

Karena itu, pengelola Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, meminta masyarakat untuk tetap bersikap sportif dan tidak bersikap merusak, khususnya terhadap fasilitas milik negara. "Ini stadion warisan nasional. Menang jangan dirusak, apalagi kalah. Stadion tidak salah, marilah kita jaga bersama," kata Direktur Pengembangan dan Pengelolaan GBK, Machfudin Nigara, di Jakarta, Selasa (28/12).

Sementara itu, Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya memastikan sudah siap menghadapi kemungkinan gangguan keamanan terburuk. Polda Metro Jaya menyiagakan enam sampai tujuh ribu personel untuk mengamankan laga final.

"Kami sudah siapkan pengamanan sampai hal terburuk sesuai standar. Hal terburuk itu contohnya, wasit hentikan permainan dan penonton masuk ke lapangan," kata Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Sujarno.

Namun, Sujarno menyatakan bahwa pihaknya akan berupaya menghalau penonton memasuki lapangan pertandingan. Namun, bila gelombang massa tidak dapat dihentikan, maka polisi akan langsung melakukan pengamanan pada Presiden, termasuk pejabat yang berada di bangku VVIP, serta pemain, ofisial, dan wasit. "Kalau penonton masuk ke lapangan. Mereka yang jadi prioritas kami," kata dia.
Red: Didi PurwadiRep: Ratna Puspita
Sumber:Republika OnLine » Sepakbola

Rabu, 24 November 2010

Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya

                                             Illustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sepulang dari pembebasan Yaman, tentara Muslim membawa sejumlah ghanimah (rampasan perang) ke Madinah dan langsung menyerahkannya kepada Khalifah Umar bin al-Khattab. Umar lalu membagikan sehelai pakaian hasil rampasan perang itu kepada setiap penduduk Madinah.

Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.

Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?"

"Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.

Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya." Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."

Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari, ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai saya kembali."

Ia lantas masuk ke peraduannya untuk beristirahat. Tiba-tiba anaknya, Abdul Malik, mengingatkannya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan engkau masuk kamar?" Khalifah menjawab, "Saya ingin beristirahat sejenak."

Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang, sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?" Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat yang sedang menunggunya.

Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal" kepemimpinannya.

Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda, "Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan mengambil kebijakan.
Red: Budi RaharjoRep: Oleh Muhbib Abdul Wahab
Sumber:

KH Hasyim: 90 Persen PRT di Saudi Bermasalah

KH.Hasyim Muzadi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok, KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa  90 persen pengiriman Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Saudi Arabia dan beberapa Negara di Timur Tengah bermasalah. ''Yang tidak bermasalah hanya 10 persen saja,” kata KH Hasyim Muzadi yang juga Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS),   dalam siaran persnya yang diterima Republika di Jakarta, Senin (22/11).

Menurut Kiai Hasyim, perbedaan budaya antara Indonesia dan Saudi Arabia, serta Negara Timur Tengah lainnya, membuat PRT Indonesia kerap menemui masalah berat. “Perbedaan budaya ini menyangkut perbedaan cara pandang terhadap pembantu rumah tangga itu. Itu alasan pertama,” jelas Hasyim.

Alasan kedua, menurut Hasyim, pemerintahan Arab Saudi selama ini tidak bisa melakukan kontrol yang maksimal terhadap PRT Indonesia di rumah majikan masing-masing. “Situasinya menjadi repot, karena polisi Saudi Arabia tidak bisa dengan mudah masuk ke rumah majikan pembantu rumah tangga. Sehingga polisi di sana tidak tahu kalau ada pembantu rumah tangga disiksa dan lain-lainya,” ungkap Hasyim.

Karena kelemahan kontrol dari pemerintah Arab Saudi itulah, lanjutnya, masalah PRT Indonesia di Arab Saudi dan sejumlah Negara lainnya sulit terbongkar. “Setelah pembantu rumah tangga itu meninggal, melarikan atau terekpos media, baru bisa diketahui masalahnya,” tuturnya.

Karena itulah, Kiai Hasyim menyarankan pemerintah Indonesia segera menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Wanita khusus PRT ke Saudi Arabia dan Negara Timur Tengah lainnya. “TKW yang pembantu rumah tangga saja yang dihentikan. Karena TKI atau TKW Indonesia banyak juga yang tidak pembantu rumah tangga. Ada yang dokter dan lain-lainnya,” katanya.

Selain menghentikan pengiriman, kata Hasyim, pemerintah juga harus menarik pembantu rumah tangga yang sudah bekerja di sana. “Menariknya pelan-pelan. Kemudian mereka diarahkan untuk bekerja di Negara-negara yang dilindungi International Labour Organization (ILO) atau organisasi buruh di bawah koordinasi PBB,” katanya.

Namun Hasyim mengakui, untuk menarik TKW pembantu rumah tangga di Arab Saudi dan Negara lainnya bukan urusan mudah. Karena itu, diperlukan peran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala Negara.

“Yang bisa melakukan ini hanya Kepala Negara dengan melakukan kontak diplomasi tingkat tinggi langsung dengan kepala Negara. Setelah itu, secara teknis menteri terkait yang melaksanakan di lapangan,” katanya.

Selanjutnya, menurut Hasyim, koordinasi lintas kementerian yang diperlukan untuk mengatasi masalah TKI, TKW dan PRT, memerlukan koordinasi terpadu oleh presiden, sehingga tata operasionalnya bisa berjalan secara terpadu. “Kalau hanya diurus menteri masih kurang wibawa,” tandasnya.
Red: Krisman Purwoko
Sumber:

Rabu, 17 November 2010

Pemerintah Arab Saudi Minta RI tak Terlalu Reaktif

Rabu, 17 November 2010, 21:41 WIB
Sumiati, TKI yang dianiaya majikannya di Arab Saudi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah Arab Saudi melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta menyampaikan imbauan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak terlalu reaktif dalam menanggapi kasus menyangkut TKI di negara tersebut mengingat banyak hal yang semestinya dipertimbangkan terlebih dahulu.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia, Abdulrahman Al-Khayyath dalam wawancara khusus dengan Antara di kediamannya di Jakarta, Rabu malam (17/11).

"Saya sudah dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri RI dan diberi nota protes resmi Pemerintah Indonesia soal kasus penyiksaan seorang tenaga kerja Indonesia (Sumiati, Red.) di Arab Saudi. Atas nama Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, saya telah menyampaikan penyesalan mendalam atas terjadinya peristiwa tersebut," kata Dubes Al-Khayyath.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, kata Dubes Al-Khayyath, sungguh-sungguh menyesalkan pula fakta bahwa peristiwa itu terungkap dan beritanya menjadi sangat besar khususnya di Indonesia pada saat kedua negara dalam suasana Idul Adha, dan di hari-hari puncak pelaksanaan ibadah Haji di Mekkah.

Dubes Al-Khayyath menegaskan, Pemerintah Arab Saudi memastikan bahwa tersangka pelaku penyiksaan terhadap Sumiati itu akan dimintai pertanggungjawaban sepenuhnya dan akan diperiksa secara hukum. Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti yang sedang dikumpulkan aparat hukum Arab Saudi, tersangka pelaku akan bisa segera diajukan ke pengadilan.

Dubes Al-Khayyath menambahkan, Riyadh menginginkan agar Pemerintah Indonesia jangan terlalu reaktif terhadap isu tersebut karena di Arab Saudi, karena faktanya di sana bekerja lebih dari 1 juta TKI. Jika dibandingkan dengan kasus yang timbul seperti kasus Sumiati itu, maka persentase negatifnya sangat kecil.

Selain itu, mayoritas tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi merasa senang bekerja di negara itu dan tidak sedikit yang datang berulangkali setelah kontrak kerjanya habis. Fakta itu menunjukkan bahwa aspek negatif dari keberadaan pekerja-pekerja Indonesia di Arab Saudi sangatlah kecil.

Rata-rata pekerja Indonesia di Arab Saudi selalu diajak para majikan mereka manakala mereka berlibur ke Eropa atau negara-negara lain. Selain itu, fasilitas kesehatan, kamar dan makan sepenuhnya ditanggung majikan sehingga gaji hampir bisa disimpan secara utuh.

Al-Khayyath menambahkan, para pekerja asing di Arab Saudi, bukan hanya dari Indonesia, mendapat perlindungan hukum sepenuhnya dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. "Apalagi yang dari Indonesia, karena kita sama-sama negara Muslim," kata Dubes, yang menyayangkan pemberitaan media di Indonesia cenderung tidak berimbang.

Terkait reaksi di Indonesia, Dubes Al-Khayyath secara khusus meminta pengertian Jakarta bahwa hari-hari ini tidak tepat jika ada menteri atau pejabat tinggi Indonesia datang ke Arab Saudi apalagi hanya khusus mengurusi persoalan itu. "Cukup percayakan kepada kami. Jika mereka datang pun siapa yang akan ditemui? Para pejabat kami sedang sibuk mengurusi masalah haji," tegasnya.

Konsulat Jenderal RI di Jeddah pekan lalu telah menerima laporan bahwa seorang TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, pada 8 November, dibawa ke Rumah Sakit King Fahd, Arab Saudi karena dianiaya berat oleh istri majikan dan mengalami luka fisik yang sangat serius.

Kementerian Luar Negeri RI melalui juru bicaranya, Michael Tene, Selasa (16/11), menyatakan kondisi fisik Sumiati memprihatinkan, terdapat luka hampir di seluruh tubuh korban.
Red: Endro YuwantoSumber: Republika.co.id,
antara.

Selasa, 09 November 2010

Obama Tersenyum Lebar Saat SBY Sebut Nasi Goreng dan Rambutan

                                                       Presiden Obama&Presiden SBY

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jamuan makan malam untuk menghormati Presiden Amerika Serikat Barack Obama berlangsung akrab. Dalam sambutannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap Obama akan berkunjung lagi di waktu mendatang bersama dua buah hatinya, Sasha dan Malia.

Obama tersenyum lebar saat Presiden SBY menyebut menyediakan bakso, nasi goreng, dan rambutan dalam menu jamuan. "Berdasar informasi, itulah makanan kegemaran Yang Mulia ketika kecil," ujar SBY.

Presiden menyebut menu makanan itu setelah menyatakan keinginannya untuk menyajikan seni budaya berupa tari-tarian Indonesia tak bisa dilakukan. "Tidak tepat dilakukan, karena kami sedang berduka. Tapi kami memastikan bakso, nasi goreng, dan rambutan tersedia dalam jamuan ini."

Daftar menu di meja makan dalam jamuan itu sempat tertangkap kamera televisi. Beberapa menu makanan yang dihidangkan adalah Nasi Goreng Sunda Kelapa, Bakso Kondang, Bakpao, Ayam Goreng, dan Bebek Panggang. Dalam beberapa kesempatan, Obama pernah mengungkapkan kerinduannya mencicipi nasi goreng dan bakso yang menjadi favoritnya ketika berada di Indonesia.

Obama tiba di Istana Negara pada pukul 20.40 WIB. Sesaat setelah duduk di mejanya, Obama langsung berdiri lagi menyalami para pejabat Indonesia yang hadir dalam jamuan itu, seperti Ketua DPD Irman Gusman dan Ketua MK Mahfud MD. Makan malam itu diiringi oleh musik tradisional Bali.
Sumber: http://www.republika.co.id/kanal/breaking-news/nasional
               Selasa, 09 November 2010, 21:56 WIB

Jamu Jiwa

Assalamu alaikum ..

Hanya Ingin Mengingatkan .
Kubur Setiap Hari Menyeru Manusia Sebanyak Lima (5) Kali ...

1. Aku rumah yang terpencil,maka kamu akan senang dengan selalu membaca Al-Quran.
2. Aku rumah yang gelap, maka terangilah aku dengan selalu solat malam.
3. Aku rumah penuh dengan tanah dan debu, bawalah amal soleh yang menjadi hamparan.
4. Aku rumah ular berbisa, maka bawalah amalan Bismillah sebagai penawar.
5. Aku rumah pertanyaan Munkar dan Nakir, maka banyaklah bacaan
"Laa ilahaillallah, Muhammadar Rasulullah", supaya kamu dapat menjawabnya.

Lima Jenis Racun dan Lima Penawarnya .....

1. Dunia itu racun, zuhud itu obatnya.
2. Harta itu racun, zakat itu obatnya.
3. Perkataan yang sia-sia itu racun, zikir itu obatnya.
4. Seluruh umur itu racun, taat itu obatnya.
5. Seluruh tahun itu racun, Ramadhan itu obatnya.

Nabi Muhammad S.A.W bersabda:

Ada 4 di pandang sebagai ibu ", yaitu :

1. Ibu dari segala OBAT adalah SEDIKIT MAKAN.
2. Ibu dari segala ADAB adalah SEDIKIT BERBICARA.
3. Ibu dari segala IBADAT adalah TAKUT BERBUAT DOSA.
4. Ibu dari segala CITA CITA adalah SABAR.

Berpesan-pesanlah kepada kebenaran dan kesabaran.

Beberapa kata renungan dari Qur'an :

Orang Yang Tidak Melakukan Solat:

Subuh : Dijauhkan cahaya muka yang bersinar
Zuhur : Tidak diberikan berkah dalam rezekinya
Ashar : Dijauhkan dari kesehatan/kekuatan
Maghrib: Tidak dipatuhi oleh anak-anaknya.
Isya : Dijauhkan ketenangan dalam tidurnya



Wassalam.
SumbeR:Asbar.blogspot.com

Sabtu, 06 November 2010

Kali Gendol Tak Berfungsi Tertutup Material Vulkanik

Breaking News / Nusantara / Sabtu, 6 November 2010 16:24 WIB

Metrotvnews.com, Sleman: Hujan lebat yang terus menguyur wilayah Yogyakarta, menyebabkan banjir di sejumlah aliran sungai yang berhulu Gunung Merapi. Satu di antaranya adalah Kali Gendol. Akibat menumpuknya abu material vulkanik Merapi, menyebabkan Kali Gendol disfungsi.

Pemantauan Metro TV di Kali Gendol, Sabtu (6/11), lahar dingin bercampur material vulkanik menutupi kali tersebut. Sedangkan di jembatan di atas kali tersebut masih terlihat kepulan dari pasir vulkanik yang masih panas.

Selain lahar dan material vulkanik, kali yang menghubungkan dua desa di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, itu juga dipenuhi batang-batang pohon serta batu-batu cukup besar. Hampir dipastikan butuh tenaga banyak dan waktu untuk membersihkan jalanan di sepanjang Kali Gendol. Jalan itu sangat dibutuhkan untuk mengevakuasi korban.

Sementara itu, meski masih bisa mengalirkan air, Kali Code mengalami pendangkalan akibat banyaknya guguran material vulkanik Merapi. Air kali yang mengalir dan melintasi Kota Yogyakarta, nyaris mendekati tanggul sungai. Akibatnya banyak saluran pembuangan MCK milik warga tesumbat.(DSY)
Sumber:metrotvnews.com

Senin, 01 November 2010

Jogja Berduka

26 Oktober 2010, pukul 17.50. Hari itu Gunung Merapi mengeluarkan awan panasnya. Sehingga banyak warga lereng mengungsi ke selatan. Waktu itu pula ada sejumlah -+ 30 orang meninggal dalam bencana alam itu. Termasuk salah seorang tokoh juru kunci Gunung Merapi yaitu "Mbah Marijan". Beliau meninggal karena terkena awan panas yang menyambar. Hingga saat ini masih muncul semburan-semburan awan panas yang menyapu lereng-lereng Gunung Merapi.
sumber:jogja humoriezt blogspot.com

Selasa, 26 Oktober 2010

Investor Belanda Minati Pelabuhan Internasional Cilamaya

BANDUNG, KOMPAS.com - Investor asal Belanda berminat menanamkan modalnya dalam pembangunan Pelabuhan Internasional Cilamaya di Kabupaten Karawang. Investor dari negara lain, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia, pun mulai melirik proyek pelabuhan yang konstruksinya ditaksir menelan biaya Rp 6 triliun itu.

"Namun, PT Eurocor telah mengajukan dokumen usulan serta proposal perencanaan yang paling lengkap dan menjanjikan," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat Deny Juanda di sela-sela Musyawarah Perencanaan Pembangunan Jabar 2010, Rabu (14/4) di Bandung.

PT Eurocor merupakan konsorsium perusahaan Eropa yang sejak 2008 bekerja sama dengan sejumlah perusahaan Belanda dan melirik kawasan Cilamaya sebagai daerah yang berpotensi dijadikan pelabuhan.

Perusahaan itu telah membuat presentasi seminar dan dokumen perencanaan pembangunan hingga ke bentuk tiga dimensi pelabuhan.

Meski demikian, usulan itu baru menjadi bahan kajian karena tender pembangunan konstruksi proyek belum dibuka.

Deny mengatakan, investor dari dalam dan luar negeri yang berminat pada proyek Pelabuhan Cilamaya harus mengikuti tender. Keharusan tender diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang kerja sama pemerintah dalam penanganan investasi bidang infrastruktur.

Saat ini proyek Pelabuhan Cilamaya baru pada tahap studi kelayakan (feasibility study/FS). Ke depan, pelabuhan ini ditargetkan menjadi salah satu alternatif bagi Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta yang dinilai sudah terlalu padat untuk keperluan ekspor dan impor.

Ditemui terpisah, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, surat izin pengelolaan dari pemerintah pusat untuk Pelabuhan Cilamaya telah turun. Namun, ia menolak memberikan keterangan lebih jauh tentang hal ini. "Surat izin prinsip sudah ada. Tetapi, untuk kelanjutan proyek ini, nanti saja kalau sudah ada kepastian," katanya.

Proyek pelabuhan ini sempat mandek karena studi kelayakannya belum disetujui pemerintah pusat. "Untuk kelanjutan proyek ini bisa memakai hasil FS yang lama atau membuat FS baru. Bisa juga FS yang baru melengkapi hasil FS lama," katanya.

Kawasan industri

Pelabuhan Cilamaya akan dilengkapi kawasan industri terpadu dengan luas total 300 hektar. Untuk pembangunan ini, lanjut Deny, Pemerintah Provinsi Jabar telah membuat kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Karawang soal akses ke pelabuhan dan kawasan industri.

Area pertanian berupa sawah di sekitar lokasi yang diproyeksikan sebagai kawasan Pelabuhan Cilamaya diupayakan tidak diganggu. Sebab, kawasan pertanian itu penting bagi kelangsungan hidup petani dan Karawang merupakan salah satu lumbung padi Jabar. "Solusinya, jalan akses yang dibangun berupa jalan layang melintasi persawahan sehingga tak mengganggu pertanian," ujar Deny.

Kepala Dinas Perhubungan Jabar Dicky Saromi menambahkan, pihaknya tengah berusaha agar Kementerian Perhubungan memberikan dukungan dan perizinan untuk pembangunan Cilamaya. Kementerian Perhubungan belum menyatakan persetujuan, setidaknya secara lisan.

Karena itu, menurut Dicky, pemerintah pusat belum menyatakan akan memberi bantuan untuk pembangunan Cilamaya. Saat ini pihak Jepang sedang melakukan studi terhadap rencana pelabuhan itu. Studi diharapkan selesai sebelum akhir 2010.  (Rini Kustiasih/Dwi Bayu Radius/KOMPAS Cetak Lembar Daerah Jawa Barat)
Sumber:kompas.com

Minggu, 17 Oktober 2010

Sebuah Pelajaran dari Bencana dan Musibah

Oleh Usup Supriyadi
Prolog
Bencana dan musibah seakan datang silih berganti menimpa negeri kita tercinta; Indonesia. Dan, beberapa hari yang lalu, saudara kita di Wasior, terkena bencana alam berupa banjir bandang yang tak kenal apa yang dihadapannya; semua diterjang! Sekilas jika kita melihat cuplikan di video amatir warga yang selamat, banjir tersebut mengingatkan kita kepada peristiwa Tsunami Aceh dan Jebolnya Situ Gintung.
Peristiwa di Wasior menyisakan duka, air mata, dan tentu saja, hilangnya nyawa serta kerugian harta benda! Sebagai makhluk yang dikaruniai akal, tentu kita tidak hanya akan berhenti dan larut dalam duka dan kesedihan, serta tidak hanya membantu secara materi setelah itu merasa sudah berjasa karena saling membantu tanpa berintropeksi diri. Sudah selayaknya kita selalu mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang telah dinampakkan, sebagaimana firman-Nya :

إِنّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لاُوْلِي الأبْصَارِ

Sesungguhnya pada yang demikian itu—yakni bencana dan musibah—terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati” (QS. Aali ‘Imran : 13).
Mengapa Tuhan Menimpakan Bencana dan Musibah pada kita?

Sebagian orang yang percaya—lepas dari taat atau tidak—akan adanya Tuhan pasti akan melontarkan pertanyaan tersebut baik diucapkan melalui lisan atau hanya didalam hati, mereka berpikir bahwa bencana dan musibah ini murni memang kehendak Tuhan, sehingga Tuhan terkesan menzalimi ciptaan-Nya sendiri?! Coba kita lihat apa yang dikatakan Tuhan. Dia berfirman;

وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Tuhan memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa : 30).
Dr. Muhammad bin Sulaiman Al-Asyqaar berkata dalam Zubdatut-Tafsiir tentang ayat di atas : “Yaitu bahwa musibah-musibah apa saja yang menimpa kalian, maka sesungguhnya (kalian ditimpa musibah itu) sebagai hukuman bagi kalian karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dikerjakan tangan-tangan kalian, dan Dia memaafkan sebagian dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh para hamba, sehingga tidak dihukum/dibalas”

Dan Firman-Nya;
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيّئَةٍ فَمِن نّفْسِكَ

Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari dirimu” (QS. An-Nisaa’ : 79).
Dari dua ayat tersebut, kita bisa menarik kesimpulan sebab asasi mengapa di negeri ini selalu ditimpa bencana serta musibah, belum usai satu, datang satunya lagi dengan jarak yang sangat berdekatan. Dan sebab asasi itu adalah segala tindakan manusia—khususnya para manusia yang tidak bertanggungjawab—yang bertindak tidak benar terhadap dirinya sendiri, sesama manusia serta terhadap lingkungan hidupnya! Banyak kisah dalam berbagai kitab suci—khususnya Al-Qur’an—yang mengkabarkan kepada kita bagaimana kisah-kisah umat terdahulu yang terkena bencana dan musibah beserta sebab asasinya, semuanya berakar kepada lupa dirinya kita sebagai manusia kepada-Nya, bumi ini memang diperuntukkan untuk kita, tapi ingat! Hanya satu-satunya! Silahkan buktikan atau carilah bumi lain jika tidak percaya! Di sini kita dilahirkan, hidup, serta kembali kepada-Nya.
Duhai,…..alangkah beruntungnya orang yang bisa mengambil pelajaran! Berkaitan dengan Wasior, sudah sejak jauh-jauh hari sebagian saudara kita yang bergelut dibidang kepedulian lingkungan memperingatkan kita—khususnya pemerintah—akan dampak berlebihannya sikap segelintir pengusaha yang dengan tanpa pedulinya mengeruk habis apa yang bisa dikeruknya! Pemerintah seharusnya jangan bersilat lidah agar lepas dari tanggungjawab serta melindungi mereka dengan dalih mereka memberikan kontribusi pajak serta membantu peningkatan ekonomi nasional (?) yang tidak sedikit; tapi, apakah sebanding dengan apa yang terjadi kini?! Astaghfirullah...
Dan, kepada para pengusaha yang bergelut dibidang pertambangan, perminyakan, dan perkayuan, cobalah untuk tidak bersikap berlebihan! Atau memang sudah tabiat para pengusaha dibidang seperti itu harus begitu? Na’uzubillah...Semoga Tuhan menjauhkan kita dari sikap berlebihan dan ketidakpedulian...
Dan teruntuk diri-diri kita semuanya, betapa sekarang ini menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk hidup selaras dengan alam. Kita harus merubah maindset kita, jangan hanya bagaimana cara mengambil manfaat dari lingkungan alam, tapi juga bagaimana kita bisa bermanfaat bagi kelestarian alam ini, demi kita sendiri, demi masa depan generasi kita, dan demi masyarakat internasional, sungguh, Indonesia adalah paru-paru dunia. Bukanlah hal yang mustahil, bahwa kiamat itu bisa datang lebih cepat dari yang kita duga, dan parahnya kiamat itu datang karena kita sendiri yang mempercepatnya dengan dalih memanfaatkan kekayaan dunia yang telah Tuhan karuniakan padahal kita justru merusaknya! Astaghfirullah...semoga kita termasuk orang-orang yang melestarikan bukan malah merusak...
Menyikapi Bencana dan Musibah

Secara umum ada tiga hal yang hendaknya dilakukan oleh kita agar terhindar dan terlepas dari bencana/musibah :

1. Iman, yaitu percaya kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, dan apa yang telah Dia turunkan melalui Rasul-Nya. Iman ini mencakup ilmu dan amal dari hati dan anggota tubuh. Iman menuntut kita untuk meng-ESA-kan-Nya, menebarkan kebaikan ajaran agama berupa kasih sayang terhadap sesama manusia dan alam tempat tinggal kita.

2. Taqwa, yaitu mengerjakan segala apa yang diperintahkan-Nya dengan ikhlash dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya.

3. Taubat, yaitu meminta ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh diri pribadi, keluarga, pemimpin, dan masyarakat secara keseluruhan.
Itu secara umum yang hendaknya dilakukan oleh kita. Lantas, untuk pemerintah dan pengusaha sebisa mungkin harus bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, ketika peraturan melenceng harus segera diubah agar tidak terkesan memihak kepentingan materiil semata! Dan ketika peraturan itu dalam masa perubahan, tidakkah para pengusaha memiliki inisiatif untuk peduli tanpa harus menunggu dituntut harus peduli oleh sebuah aturan?!
Epilog
Hendaklah kita selalu ber-muhasabah (introspeksi) atas segala hal yang kita lakukan. Maslahat atau mudlarat. Jika maslahat, tentu kita mengharap kepada-Nya agar Dia menjadikannya sebagai amal shalih yang berguna bagi kita kelak. Dan sebaliknya, jika mudlarat, maka cepat-cepat kita memohon ampunan-Nya dan menutupnya dengan amal kebaikan agar terhindar dari bencana dan musibah. Janganlah kita merasa aman dari ujian serta cobaan Tuhan dengan tidur tenang di peraduan kita. Tuhan telah berfirman;

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىَ أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ * أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىَ أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ * أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur ? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain ? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Tuhan (yang tidak terduga-duga) ? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Tuhan kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf : 97-99).
Kita adalah penduduk negeri Indonesia, dan saudara kita di Wasior adalah juga satu kesatuan dengan kita. Ini menjadi sebuah pertanda, bahwa bisa jadi disuatu daerah dalam satu negeri yang penduduknya taat, ditimpa bencana dan musibah akibat dari ulah tangan manusia di daerah lainnya di negeri yang sama. Misalnya, kita di sini juga ternyata bersikap boros dan konsumtif terhadap produk tertentu yang diambil dari alam, menjadi pendorong para pengusaha berbuat berlebihan demi memenuhi kebutuhan kita, padahal di sisi lain ada saudara kita yang terancam. Di sinilah, bencana dan musibah yang menimpa mereka dijadikan jalan oleh Tuhan sebagai bentuk pelajaran dan teguran bagi semua penduduk negeri. Tapi, semuanya kembali kepada kita, apakah kita mau mengambil pelajaran atau tidak. Apa mesti ditimpa bencana dan musibah dulu secara langsung dan keseluruhan, baru saya (dan Anda ?) mau mengambil pelajaran?! Na’uzubillah...

وَاتّقُواْ فِتْنَةً لاّ تُصِيبَنّ الّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصّةً

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan (fitnah, bencana, dan musibah) yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu” (QS. Al-Anfaal : 25).
Semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa, menjauhkan kita dan memberikan kekuatan kepada kita agar bisa menjauhkan diri dari sikap zalim terhadap sesama dan alam sekitar kita. Amin. O ya, jangan lupa untuk mereka yang memiliki harta berlebih sisihkanlah untuk membantu para korban, dan kita semua jangan pernah putus berdo’a!

Wa Allaahu A’lam

blog : http://degoblog.wordpress.com/
email : usupsupriyadi@gmail.com

Kemiskinan Itu Ujian Allah!

Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang. Tapi, bagaimana jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat makan saja susah.
Berikut ini penelusuran dan wawancara Eramuslim dengan seorang pemulung yang kini bisa terus kuliah di jurusan akuntansi di Pamulang, Tangerang. Mahasiswi berjilbab itu bernama Ming Ming Sari Nuryanti.
Sudah berapa lama Ming Ming jadi pemulung?
Sejak tahun 2004. Waktu itu mau masuk SMU. Karena penghasilan ayah semakin tidak menentu, kami sekeluarga menjadi pemulung.
Sekeluarga?
Iya. Setiap hari, saya, ayah, ibu, dan lima adik saya berjalan selama 3 sampai 4 jam mencari gelas mineral, botol mineral bekas, dan kardus. Kecuali adik yang baru kelas 2 SD yang tidak ikut.
***
Tempat tinggal Ming Ming berada di perbatasan antara Bogor dan Tangerang. Tepatnya di daerah Rumpin. Dari Serpong kurang lebih berjarak 40 kilometer. Kawasan itu terkenal dengan tempat penggalian pasir, batu kali, dan bahan bangunan lain. Tidak heran jika sepanjang jalan itu kerap dipadati truk dan suasana jalan yang penuh debu. Di sepanjang jalan itulah keluarga pemulung ini memunguti gelas dan botol mineral bekas dengan menggunakan karung.
Tiap hari, mereka berangkat sekitar jam 2 siang. Pilihan jam itu diambil karena Ming Ming dan adik-adik sudah pulang dari sekolah. Selain itu, bertepatan dengan jam berangkat sang ayah menuju tempat kerja di kawasan Ancol.
Setelah berjalan selama satu setengah sampai dua jam, sang ayah pun naik angkot menuju tempat kerja. Kemudian, ibu dan enam anak itu pun kembali menuju rumah. Sepanjang jalan pergi pulang itulah, mereka memunguti gelas dan botol mineral bekas.
Berapa banyak hasil yang bisa dipungut?
Nggak tentu. Kadang-kadang dapat 3 kilo. Kadang-kadang, nggak nyampe sekilo. Kalau cuaca hujan bisa lebih parah. Tapi, rata-rata per hari sekitar 2 kiloan.
Kalau dirupiahkan?
Sekilo harganya 5 ribu. Jadi, per hari kami dapat sekitar 10 ribu rupiah.
Apa segitu cukup buat 9 orang per hari?
Ya dicukup-cukupin. Alhamdulillah, kan ada tambahan dari penghasilan ayah. Walau tidak menentu, tapi lumayan buat keperluan hidup.
***
Ming Ming menjelaskan bahwa uang yang mereka dapatkan per hari diprioritaskan buat makan adik-adik dan biaya sekolah mereka. Sementara Ming Ming sendiri sudah terbiasa hanya makan sekali sehari. Terutama di malam hari.
Selain itu, mereka tidak dibingungkan dengan persoalan kontrak rumah. Karena selama ini mereka tinggal di lahan yang pemiliknya masih teman ayah Ming Ming. Di tempat itulah, mereka mendirikan gubuk sederhana yang terbuat dari barang-barang bekas yang ada di sekitar.
Berapa hari sekali, pengepul datang ke rumah Ming Ming untuk menimbang dan membayar hasil pungutan mereka.
Kalau lagi beruntung, mereka bisa dapat gelas dan botol air mineral bekas di tempat pesta pernikahan atau sunatan. Sayangnya, mereka harus menunggu acara selesai. Menunggu acara pesta itu biasanya antara jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Selama 5 jam itu, Ming Ming sebagai anak sulung, ibu dan dua adiknya berkantuk-kantuk di tengah keramaian dan hiruk pikuk pesta.
Kalau di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga pemulung ini juga punya kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Mereka tidak berkeliling kampung, berwisata, dan silaturahim ke handai taulan. Mereka justru memperpanjang rute memulung, karena biasanya di hari raya itu, barang-barang yang mereka cari tersedia lebih banyak dari hari-hari biasa.
Ming Ming tidak malu jadi pemulung?
Awalnya berat sekali. Apalagi jalan yang kami lalui biasa dilalui teman-teman sekolah saya di SMU N 1 Rumpin. Tapi, karena tekad untuk bisa membiayai sekolah dan cinta saya dengan adik-adik, saya jadi biasa. Nggak malu lagi.
Dari mana Ming Ming belajar Islam?
Sejak di SMU. Waktu itu, saya ikut rohis. Di rohis itulah, saya belajar Islam lewat mentoring seminggu sekali yang diadakan sekolah.
Ketika masuk kuliah, saya ikut rohis. Alhamdulillah, di situlah saya bisa terus belajar Islam.
Orang tua tidak masalah kalau Ming Ming memakai busana muslimah?
Alhamdulillah, nggak. Mereka welcome saja. Bahkan sekarang, lima adik perempuan saya juga sudah pakai jilbab.
***
Walau sudah mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang lumayan panjang, Ming Ming dan adik-adik tidak merasa risih untuk tetap menjadi pemulung. Mereka biasa membawa karung, memunguti gelas dan botol air mineral bekas, juga kardus. Bahkan, Ming Ming pun sudah terbiasa menumpang truk. Walaupun, ia harus naik di belakang.
Ming Ming kuliah di mana?
Di Universitas Pamulang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi S1.
Maaf, apa cukup pendapatan Ming Ming untuk biaya kuliah?
Jelas nggak. Tapi, buat saya, kemiskinan itu ujian dari Allah supaya kita bisa sabar dan istiqamah. Dengan tekad itu, saya yakin bisa terus kuliah.
Walaupun, di semester pertama, saya nyaris keluar. Karena nggak punya uang buat biaya satu semester yang jumlahnya satu juta lebih. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semuanya bisa terbayar.
***
Di awal-awal kuliah, muslimah kelahiran tahun 90 ini memang benar-benar melakukan hal yang bisa dianggap impossible. Tanpa uang memadai, ia bertekad kuat bisa masuk kuliah.
Ketika berangkat kuliah, sang ibu hanya memberikan ongkos ke Ming Ming secukupnya. Artinya, cuma ala kadarnya. Setelah dihitung-hitung, ongkos hanya cukup untuk pergi saja. Itu pun ada satu angkot yang tidak masuk hitungan alias harus jalan kaki. Sementara pulang, ia harus memutar otak supaya bisa sampai ke rumah. Dan itu ia lakukan setiap hari.
Sebagai gambaran, jarak antara kampus dan rumah harus ditempuh Ming Ming dengan naik empat kali angkot. Setiap angkot rata-rata menarik tarif untuk jarak yang ditempuh Ming Ming sekitar 3 ribu rupiah. Kecuali satu angkot di antara empat angkot itu yang menarik tarif 5 ribu rupiah. Karena jarak tempuhnya memang maksimal. Jadi, yang mesti disiapkan Ming Ming untuk sekali naik sekitar 14 ribu rupiah.
Di antara trik Ming Ming adalah ia pulang dari kuliah dengan berjalan kaki sejauh yang ia kuat. Sambil berjalan pulang itulah, Ming Ming mengeluarkan karung yang sudah ia siapkan. Sepanjang jalan dari Pamulang menuju Serpong, ia melepas status kemahasiswaannya dan kembali menjadi pemulung.
Jadi, jangankan kebayang untuk jajan, makan siang, dan nongkrong seperti mahasiswa kebanyakan; bisa sampai ke rumah saja bingungnya bukan main.
Sekarang apa Ming Ming masih pulang pergi dari kampus ke rumah dan menjadi pemulung sepulang kuliah?
Saat ini, alhamdulillah, saya dan teman-teman UKM Muslim (Unit Kegiatan Mahasiswa Muslim) sudah membuat unit bisnis. Di antaranya, toko muslim. Dan saya dipercayakan teman-teman sebagai penjaga toko.
Seminggu sekali saya baru pulang. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya hampir sama.
Jadi Ming Ming tidak jadi pemulung lagi?
Tetap jadi pemulung. Kalau saya pulang ke rumah, saya tetap memanfaatkan perjalanan pulang dengan mencari barang bekas. Bahkan, saya ingin sekali mengembangkan bisnis pemulung keluarga menjadi tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu, menjadi bisnis daur ulang. Dan ini memang butuh modal lumayan besar.
Cita-cita Ming Ming?
Saya ingin menjadi da'i di jalan Allah. Dalam artian, dakwah yang lebih luas. Bukan hanya ngisi ceramah, tapi ingin mengembangkan potensi yang saya punya untuk berjuang di jalan Allah. (MN)
Sumber:http:/www.era muslim.com

Seberapa Lama Kita Dikubur?

Pernahkah Sahabat membayangkan, seberapa lama kita dikubur, setelah meninggal? Penulis juga tak bisa memberikan jawabannya. Namun penulis berharap setelah membaca kisah yang akan dipaparkan di bawah ini, para pembaca dapat mengambil hikmahnya, amiin. Inilah kisahnya;
Pada hari itu, awan sedikit mendung, namun diperkirakan tidak akan hujan. Seorang bocah bernama Yani dengan kaki-kaki mungilnya, berlari-lari kecil sambil bergembira melihat pemandangan sekitar kawasan lampu merah Karet. Baju merahnya yang kebesaran melambai lambai di tiup angin, saat ia menyebrangi jalan bersama ayahnya tercinta, menuju pemakaman umum Karet.
Dimana almarhum mendiang neneknya dimakamkan, tangan kanannya memegang es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram ikatan sabuk celana ayahnya.
Ketika memasuki wilayah pemakaman umum Karet, Yani dan sang ayahnya berputar sejenak kekanan dan kemudian duduk di atas seonggok batu nisan bertuliskan “Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1905:20-01-1965.″
Kemudian Sang ayah berkata: “Nak, ini kuburan nenekmu mari kita  berdo’a untuk nenekmu.” Sesaat kemudian, Yani menatap wajah ayahnya, lalu menirukan tangan  ayahnya yang mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Lantas, ia mendengarkan ayahnya berdo’a untuk neneknya…
Tak lama berselang Yani berujar kepada ayahnya: “Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya yah.” Lalu, Ayahnya mengangguk sembari tersenyum sembari memandang pusara Ibu-nya.
“Hmm, berarti nenek sudah meninggal 36 tahun ya yah…” lanjut Yani berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya mulai berhitung. “Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 36 tahun … “ Jawab Sang ayah. 
Yani memutar kepalanya, memandang, memperhatikan sekeliling pemakaman, hatinya berkata, banyak juga ya, kuburan di sana. Sejurus kemudian matanya tertuju pada sebuah kuburan yang terletak di samping kuburan neneknya, kuburan tua berlumut dengan batu nisan bertuliskan  “Muhammad Zaini : 19-02-1882 : 30-01-1910.″
Ayah-ayah, “Hmm.. kalau yang itu sudah meninggal 91 tahun yang lalu ya yah” jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi, ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya.
“Memangnya kenapa ndhuk?”, ujar sang ayah menatap teduh mata anaknya.
“Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa  kalau kita mati, lalu dikubur dan kita bila banyak dosanya, kita akan  disiksa di neraka”, jelas Yani sambil meminta persetujuan ayahnya.
“Iya  kan yah?” sambil matanya melirik ayahnya. Sang Ayahnya tersenyum, “Lalu?”, timpal ayah.
“Iya .. kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 36 tahun dong yah di dalam kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 36 tahun nenek senang di dalam kubur…. ya nggak yah?” Mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada ayahnya pendapatnya.
Ayahnya tersenyum, namun dibalik senyuman sang ayah, sekilas tampak keningnya berkerut, dan tampaknya cemas….. “Iya nak, kamu pintar,” jawab ayahnya pendek.
Sepulang dari Pemakaman, ayah Yani tampak gelisah di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan anaknya … 36 tahun … hingga sekarang…kalau kiamat datang 100 tahun lagi ….136 tahun disiksa .. atau bahagia di kubur …. Lalu ia menunduk … meneteskan air mata …
Kalau ia meninggal .. lalu banyak dosanya … lalu kiamat masih 1000  tahun lagi berarti ia akan disiksa 1000 tahun? Innalillaahi wa inna  ilaihi rooji’un … air matanya semakin banyak menetes…..Sanggupkah ia  selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan .. kalau 2000  tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur .. lalu setelah dikubur? Bukankah akan lebih parah lagi? Tahankah?  Padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi kemarin ia sudah  tak tahan?
Ya Allah …ia semakin menunduk .. tangannya terangkat ke atas..bahunya naik turun tak teratur…. air matanya semakin membanjiri jenggotnya…..
Allahumma as aluka khusnul khootimah berulang kali di bacanya doa  itu hingga suaranya serak … dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani. Lantas...
Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan bambu… dibetulkannya selimutnya. Yani terus tertidur …tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya .. arti sebuah kehidupan… dan apa yang akan datang di depannya…
Wassalam, salam dari penulis.... ”Hiasilah Qolbu Sahabat dengan Lafadz Allah SWT setiap detik, dan awalilah setiap kegiatan kita dengan mengucap Basmallah, agar semua aktivitas kita mendapat barokah-Nya.”

Selasa, 12 Oktober 2010

Jangan Sia-siakan Waktu Subuh Mu

   
Jangan Sia-siakan Waktu Subuh Mu
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagaimana tempat, dimensi waktu pun bisa menjadi sarana yang efektif dalam menghantarkan seorang hamba meraih keutamaan di sisi Allah. Bukankah shalat-yang menjadi wahana paling khusyuk dalam beraudiensi dengan-Nya-ditandai dengan waktu? Dalam Kitab-Nya, Allah juga sering menggugah kita dengan ungkapan waktu, termasuk waktu subuh.

"Demi fajar/subuh," firman-Nya dalam surah Al-Fajr. Ayat ini mengetuk kita dengan penggunaan wau qasam (sumpah). Ini menunjukkan betapa urgennya waktu subuh, yaitu saat udara masih segar, sejuk, dan pikiran masih jernih. Alam yang tadinya mengantuk, perlahan-lahan bangun dan kembali membentangkan karunianya. Di sinilah pentingnya arti bangun pagi; ia bukan hanya memberikan manfaat dari sisi kesehatan, melainkan juga bisa bermakna finansial dan spiritual.

Konon, Indonesia termasuk lima negara yang paling besar tingkat polusinya di dunia, hingga udara yang cerah dan segar menjadi sulit didapat. Apalagi di banyak wilayah kota besar, seperti Jakarta, yang setiap sudutnya nyaris penuh dengan asap kendaraan bermotor. Karena itu, bagi kita yang ingin menghirup udara segar, bangun pagi bisa menjadi alternatif.

Bangun pagi juga mempunyai nilai ekonomis. Karena orang yang bangun lebih awal akan punya waktu lebih banyak untuk menangani berbagai urusan dan bisnisnya. Lebih-lebih ketika budaya kompetitif sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, maka mengejar dan mencari peluang bisnis adalah suatu tuntutan.

"Hilangnya berbagai macam peluang mengakibatkan terjadinya kehancuran, karena memang itulah dunia," tulis Maulana Wahiduddin Khan, pemikir dari India. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berujar, "Malam dan siang bekerja untukmu, maka bekerjalah kamu pada keduanya."

Bangun pagi juga tidak hanya menawarkan pulsa yang murah bagi orang yang ingin berbicara via telepon, misalnya. Namun, banyak informasi bisnis penting pun sering dilansir sejak pagi. Lebih-lebih bagi yang bergerak di bidang jasa transportasi, waktu pagi sungguh memberikan banyak berkah.

Bagi mereka yang masih tergeletak di peraduannya, mana mungkin bisa meraih karunia itu. Maka, benarlah kalau Nabi mengatakan bahwa tidur di pagi hari mewariskan kemiskinan.

Sedangkan dari sisi spiritual, dalam banyak hadis, Nabi acap kali memberitakan tentang fadilah shalat Subuh secara berjamaah, juga bershalawat untuknya di kala pagi dan petang.

Guna mempertajam kepekaan spiritual kita, Nabi juga mewariskan wirid-wirid khusus yang dibaca setiap subuh, misalnya: "Kami telah memasuki subuh dan kerajaan kepunyaan Allah pun telah memasukinya. Ya Allah, aku memohon kebaikan hari ini, keterbukaan (pintu rahmat), pertolongan, keberkahan, dan hidayah hari ini. Aku berlindung kepada Engkau dari keburukan hari ini, keburukan hari sebelum dan sesudah hari ini."

Sedemikian besarnya makna bangun pagi, hingga salah satu kebiasaan Nabi adalah tidur lebih awal. Tidakkah kita ingin mencontohnya?
Red: Budi RaharjoRep: Oleh Makmun Nawawi

Minggu, 03 Oktober 2010

Hak Istri dalam Islam

Oleh:Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:

أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.

Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

1. Mendapat mahar

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا

“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)

2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

3. Mendapat nafkah dan pakaian

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)

Demikian pula firman-Nya:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا

“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)

adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

5. Wajib berbuat adil di antara para istri

Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا

“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)

Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)

Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)

6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama

Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:

ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:

لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ

“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”

Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي

“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”

Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”

Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”

Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:

1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)

3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)

4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.

Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.

Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)

2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.

Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”

Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.

“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”

3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).

4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)

6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:

فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟

“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”

7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)

8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)

9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)

12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)

13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).

Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.

Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj,
Sumber:Kuwait-indramayu blogspot.com

Bahaya Dengki

Diantara penyakit yang merusak pahala puasa adalah dengki, dalam bahasa Arab disebut hasad. Dengki adalah perasaan tidak senang atas keberuntungan orang lain disertai usaha menghilangkan dan memindahkan keberuntungan itu kepada diri sendiri (an tatamanna zawala ni`mat al mahsud ilaika). Adapun menginginginkan hal yang serupa dengan yang diperoleh orang lain tidak termasuk dengki, karena al Qur’an bahkan menyuruh kita berlomba meraih kebajikan (fastabiq al khoirat).

Mengapa orang mendengki ? Dasar dari sifat dengki adalah adanya keinginan orang untuk menjadi orang nomor satu, menjadi orang yang terhebat, terkaya, terhormat dan ter-ter yang lain, yang berkonotasi rendah. Dalam bahasa agama, dunia dengan segala urusannya adalah sesuatu yang rendah. Dalam bahasa Arab, dun ya artinya dekat atau rendah atau hina. Jadi orang hanya mendengki manakala yang diperebutkan itu sesuatu yang rendah, hina dan berdimensi jangka pendek, ibarat `orang yang memasuki lorong sempit yang hanya muat satu orang. Ruang sempit itulah yang menyebabkan para peminat harus berdesakan dan saling menyikut. Selanjutnya jika ada satu orang yang telah berhasil memasuki lorong dan berhasil menduduki kursi duniawi yang diperebutkan, kursi presiden misalnya, maka orang yang belum berhasil memandang orang yang telah berhasil sebagai hambatan yang harus disingkirkan, sementara orang yang telah berhasil menduduki kursi itu memandang orang lain yang berminat sebagai ancaman yang juga harus dihambat.

Adapun jika memperebutkan sesuatu yang besar, mulia dan berdimensi panjang hingga akhirat, maka diantara para peminat justeru terdapat hubungan. Orang yang merindukan derajat takwa misalnya, ia akan senang jika ada orang lain yang bermaksud sama. Demikian juga orang yang ikhlas berdekah, maka ia sangat senang jika ada orang lain yang juga gemar bersedekah. Jika diantara orang yang ingin menjadi orang dekat presiden terdapat saling iri, saling menjegal dan sebagainya, hal itu adalah karena sempitnya ruang untuk menjadi orang dekat presiden, Tetapi jika ingin menjadi orang yang dekat dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka seberapapun banyaknya orang yang menginginkan, disana tersedia ruangannya, karena Allah Maha Luas rahmat Nya.

Dengki itu sangat berbahaya, bukan hanya bagi diri pemiliknya tetapi juga bagi masyarakat luas. Dengki itu kata hadis nabi ibarat setitik api yang dapat membakar kayu bakar seberapapun banyaknya. Ia juga bagaikan pisau cukur yang bisa mencukur bersih amal seseorang. Kata Nabi, hanya dua hal orang boleh iri; yakni jika ada orang yang dikaruniai ilmu banyak, ia dapat mengajarkan kepada orang lain dan juga yang bersangkutan mengamalkannya. Kedua, jika ada orang yang dianugerahi banyak harta, tetapi ia membelanjakannya di jalan yang benar hingga habis, Wallohu a`lamu bissawab.

Cbox