Jumat, 04 November 2011

Memaknai Ibadah Haji

Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. Bersama keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai “Bapak para Nabi”, juga “Bapak monotheisme,” serta “proklamator keadilan Ilahi” kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini.
Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,
“Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. Merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, … yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya … penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya …”
“Kepastian” yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu, karena apa yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali Tuhan ini yang mengaturnya dan di lain kali tuhan itu?
Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.
Ajaran Ibrahim as. atau “penemuan” beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.
Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun –bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya dan hal ini secara agamis atau Qur’ani terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An’am 6:75, Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. “, tapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut al-Qur’an meminta pada Tuhan untuk diperlihatkan bagaimana caranya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260) dimana Allah swt berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”.

Demikian sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrahim, sehingga wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia, seperti ditegaskan al-Qur’an surah al-Baqarah 2:127.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Keteladanan tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Makkah, karena beliaulah bersama putranya Ismail yang membangun (kembali) fondasi-fondasi Ka’bah (QS. al-Baqarah 2:127), dan beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari’at haji sebaggaimana firmanNYA Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. al-Haj 22:27).
Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarga alami, pada hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,
  1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.
  2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.
  3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Ketiga inti ajaran ini tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam. Tulisan ini akan menitikberatkan uraian menyangkut butir ketiga, walau pun disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan dan ketundukan semua makhluk di bawah pengawasan, pengaturan dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan, manusia dalam pandangan al-Qur’an, sama dari segi ini dengan makhluk-makhluk lain, karena walau pun manusia memiliki kemampuan menggunakan makhluk-makhluk lain, namun kemampuan tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat penundukan Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.
Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.
Allah swt berfirman : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat 13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
Ibadah haji dikumandangkan Ibrahim as. sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu, adalah praktek ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji.
Dalam Al-Qur’an difirmankan, Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang: (Surah al-Baqarah 2:199), dalam ayat tsb Allah menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa diri memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur’an dan turunlah ayat tersebut diatas. “Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari ajaran Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan. Namun yang pasti Nabi saw membatalkannya, bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khutbah Nabi saw pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
Makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa diantaranya.
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. “Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya. [2]
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Keempat, setelah selesai melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa’i. Di sini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang diperistrikan Nabi Ibrahim itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti jauh sebelum peristiwa pencaharian ini, ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya samasekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali mondar-mandir demi mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian dan ketegaran” [3] –sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran– dan berakhir di Marwah yang berarti “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain” [4].
Adakah makna yang lebih agung berkaitan dengan pengamalan kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi makna-makna yang digambarkan di atas? Kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana’ fi Allah maka sai’ menggambarkan usaha manusia mencari hidup –yang ini dilakukan begitu selesai thawaf– yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan. Maka dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. Setengah kesadaran itu dimulai sa’i yang menggambarkan, tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu.
Kelima, di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’rifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang ‘arafah untuk menjadi ‘arif atau sadar dan mengetahui. Kearifan apabila telah menghias seseorang, maka Anda akan, menurut Ibnu Sina, “Selalu gembira, senyum, betapa tidak senang hatinya telah gembira sejak ia mengenal-Nya, … di mana-mana ia melihat satu saja, … melihat Yang Maha Suci itu, semua makhluk di pandangnya sama (karena memang semua sama, … sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.
Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.
Oleh : M. Quraish Shihab
CATATAN KAKI
1. Lihat Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-’Aqaid Wa al-mazahib, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.
2. Lihat lebih jauh Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.
3. Lihat al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami’li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h. 180.
4. Lihat Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi ‘l-Islam, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.
Sumber:Mitra-Haji.com adalah Web Marketing Untuk Pendaftaran Online
Agen Biro Perjalanan Umroh dan Haji Plus PT. Arminareka Perdana

1 komentar:

Cbox