Selasa, 04 Desember 2012

Meluruskan Sejarah? Atau Historiografi NU?

 
 
 
Meluruskan sejarah? Itulah judul tulisan Wakil Ketua Umum PBNU di situs ini untuk merespon sejumlah tulisan tentang “Peristiwa 1965”.

Pertanyaan pertama muncul. Adakah sejarah yang “tidak lurus”? Apakah sejarah yang “tidak lurus” tersebut bisa berarti sejarah yang “tidak benar”?

Dulu, di semester-semester awal kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah UI, seorang dosen membuka kuliah dengan pertanyaan retoris sebagaimana judul di atas, untuk kemudian ia menjawabnya sendiri dengan menjelaskan metode sejarah yang bersumber dari buku “Mengerti Sejarah” karya Louis Gottschalk, sebuah buku teori sejarah pertama yang harus dikunyah mahasiswa sejarah. Sebuah buku “babon” yang cukup tebal tentang metode sejarah yang terjemahannya tidak terlalu sempurna.

Sambil sepintas lalu membuka buku tersebut, dosen tersebut menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah secara umum terbagi empat tahap, yaitu heuristik (mengumpulkan data), kritik atau verifikasi –baik internal maupun eksternal- data dan sumber data sejarah, kemudian interpretasi atau penafsiran dan kemudian historiografi (penulisan sejarah).

Sesudah buku tersebut dan juga buku-buku serta mata kuliah lainnya, sejumlah dosen mengkritisi beberapa istilah dalam peristiwa sejarah yang popular di masyarakat seperti istilah “Pemberontakan G.30.S/PKI”. Menurut seorang dosen, istilah “Pemberontakan G.30.S/PKI” tersebut kurang tepat. Pertama, istilah “Pemberontakan” kurang tepat digunakan mengingat G.30.S tidaklah mengkudeta Presiden Soekarno dan malah “mengamankannya” di Halim. Kedua, istilah “G.30.S/PKI” juga kurang tepat, mengingat tambahan “/PKI” tersebut diberikan oleh sebuah Koran yang dimiliki tentara beberapa hari sesudah pasukan G.30.S membunuh sejumlah jenderal.

Oleh karena itu, mungkin tidak terlalu berlebihan ketika Pusat Kurikulum Depdiknas beberapa tahun lalu sempat menghapus istilah “Pemberontakan G.30.S/PKI” dan menggantinya dengan “Peristiwa G.30.S 1965” dalam buku-buku sejarah di tingkat SMP-SMA, yang kemudian diprotes keras oleh umat Islam dan akhirnya buku-buku sejarah sekolah yang sudah terlanjur dicetak tersebut terpaksa dibakar.

Kini, gegeran PKI pun muncul kembali ketika beberapa waktu lalu, PBNU yang diwakili oleh Waketum PBNU dan Ketua Umum PP GP Ansor mengadakan konferensi pers bahwa NU menolak rencana pemerintah yang akan meminta maaf kepada PKI. Gegeran itu pun bertambah “panas” setelah Majalah Tempo edisi awal Oktober 2012 mengomporinya dengan sejumlah tulisan yang bernada mendiskreditkan NU sebagai pelaku pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca gagalnya G.30.S.

Ingatan saya pun melayang ke beberapa tahun yang lalu ketika sejumlah intelektual muda NU yang ‘stand by’ di PBNU mengajak saya membentuk Komunitas Sejarah NU, tapi kemudian gagal terbentuk. Seandainya Komunitas Sejarah NU itu terbentuk yang tentunya tidak hanya beranggotakan para peminat sejarah NU, tapi juga para sarjana, master dan doktor sejarah yang mempunyai kerangka dan otoritas akademik keilmuan sejarah yang mumpuni, tentunya NU tidak akan “terhuyung-huyung” merespon “test of the water” dari Majalah Tempo.

Tentunya juga, seorang wakil ketua umum PBNU tidak akan sampai melakukan kesalahan “teknik dasar” seperti memakai istilah “meluruskan sejarah”, yang di mata mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah di universitas apapun sudah jelas dan clear untuk tidak lagi digunakan.

“Meluruskan sejarah?”
Para akademisi sejarah dalam usahanya mencari “kebenaran” sejarah memang tidak pernah menggunakan istilah “meluruskan sejarah”. Istilah yang pernah dipakai antara lain adalah “menjernihkan sejarah”. Istilah “menjernihkan sejarah” ini digunakan antara lain oleh AB Lapian, Ayatrohaedi, RZ Leirissa dan lain-lain yang dirangkum dalam sebuah buku kecil “Pemikiran tentang Penjernihan Sejarah” yang diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985.

Mengenai istilah “penjernihan sejarah” ini pun, Leirissa memberikan catatan kritis dengan mengatakan bahwa dari sejumlah permasalahan yang timbul dalam historiografi, maka “penjernihan sejarah” merupakan hal yang baru mengingat dalam tradisi penelitian dan penulisan sejarah di negara-negara maju, segala permasalahan yang timbul akibat kekeliruan metodologis selalu diselesaikan secara akademik melalui tulisan dalam majalah ilmiah maupun disertasi, dimana dalam proses tersebut, cara-cara penjernihan sudah "menubuh".

Leirissa khawatir upaya “penjernihan sejarah” –yang tahun 1985 tersebut menjadi proyek Depdikbud- meniru pola di negara-negara totaliter yang menjadikan sejarah sebagai kerangka pokok dari ideologi serta menempatkan negara sebagai otoritas yang menentukan “sejarah yang benar” dan “kesadaran sejarah” yang tepat.

Namun, Leirissa kemudian menambahkan adanya kebutuhan “penjernihan sejarah” berupa perkembangan historiografi yang awalnya bercorak regiosentris, lalu bergeser menjadi kolonial-sentris dan sejarah nasional. Leirissa kemudian memberikan beberapa contoh tema-tema penulisah sejarah kepahlawanan dengan menggunakan metode intuisi (empati) di tahun 1950-an dan 1960-an yang menimbulkan bias kebanggaan, superioritas dan bahkan chauvinisme dimana karya-karya penulisan sejarah yang menekankan bias tersebut kurang ketat secara metodologis. Secara lebih rinci, Leirissa mengungkapkan:

“….penggunaan empathy secara gampangan, suasana jaman, dan bias penulis maupun audiencenya, adalah sumber-sumber yang menimbulkan perbantahan di kalangan sementara penulis sejarah di Indonesia. Imam Bonjol, umpamanya, dianggap pahlawan yang terlalu besar untuk diterima sebagai orang yang akhirnya menyerah pada musuhnya dan ditawan seumur hidup. Pattimura tidak mungkin muncul untuk memimpin suatu perlawanan yang meliputi Maluku Tengah, kalau ia berasal dari masyarakat Kristen yang notabene selama berabad-abad (menurut visi itu) memihak pada Belanda. Pelbagai contoh lain bisa kita ajukan di sini. Bagaimana harus kita lihat Teuku Umar yang pernah menyerah pada Belanda? Dan bagaimana dengan pertanyaan seorang pembawa (sic!) dalam ruang surat pembaca dari harian Sinar Harapan yang mempersoalkan kenyataan bahwa Pakubuwono VI yang mendapat gelar pahlawan itu dalam kenyataannya pernah membantu Belanda melawan bangsanya sendiri? Lebih lagi, bagaimana dengan tokoh-tokoh kontroversal (sic!) dalam sejarah Indonesia seperti Aru Palaka, Kapitan Yonker dan lain-lain? Gambaran yang muncul mengenai Aru Palaka dari hasil penelitian terakhir justru sangat berlainan dari apa yang selalu muncul dalam sejarah Indonesia. Ternyata sebagai stabilisator keadaan intern Sulawesi Selatan sepeninggal kerajaan Goa-Tallo, peranan Aru Palaka tidak bisa diabaikan.”

Leirissa berpendapat masalah-masalah seperti itu akan timbul dalam penulisan sejarah dan mempertanyakan hak sejarawan formal untuk melarangnya dan terus berusaha mengekang sejarah dalam batasan lingkungan akademis dan mengusir kalangan awam dari kegiatan penulisan sejarah ini.

Ia khawatir, apabila para sejarawan salah bersikap dalam “penjernihan” tersebut, maka hal-hal di atas bisa terjadi. Leirissa justru mendukung keterlibatan masyarakat dalam penulisan sejarah seperti ungkapan “everyone is own historian” sehingga bidang kesejarahan tidak menjadi monopoli para sejarawan akademik saja.

Leirissa menyadari dilema sejarawan akademik dalam masalah ini.

Di satu sisi, para sejarawan akademik harus mendorong gairah menulis sejarah masyarakat luas, namun di sisi lain para sejarawan akademik harus berusaha mengurangi kekeliruan metodologi dan salah paham di antara para penulis sejarah.
Menurutnya, pendapat yang menyatakan bahwa kesadaran sejarah akan muncul bila orang mengetahui fakta-fakta yang benar dan interpretasi sejarah yang tepat adalah betul, namun hal itu tidaklah cukup. Leirissa lebih menekankan pentingnya pemahaman tentang hakekat studi sejarah yang menurutnya adalah dialog tiga dimensi.

Pertama, dialog antara sejarawan dengan sumber sejarahnya. Kedua, dialog antara sejarawan dengan sejarawan lainnya. Ketiga, dialog antara sejarawan dengan masyarakatnya.

Leirissa berharap dengan “memasyarakatkan” ilmu sejarah, maka masyarakat akan memahami bahwa sejarah bukanlah ilmu yang serba eksakta namun lebih banyak merupakan “pengetahuan eksperimental”. Dengan wawasan demikian, maka ketegangan-ketegangan yang timbul mengenai tokoh atau peristiwa tertentu tidak akan menjadi konflik yang abadi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sebuah metode. Leirissa mengajukan metode historiographical analysis dari sejarawan J.H. Hexter. Metode analisis historiografi Hexter ada tiga macam:

Pertama, “Macroanalysis”, yaitu usaha meneliti suatu hasil karya secara keseluruhan dengan membandingkan sumber-sumber sejarah yang dipakai dalam buku itu dengan kesimpulan-kesimpulan dalam buku itu sendiri (interpretasi dan fakta). Masalah retorika atau bahasa yang digunakan perlu mendapat perhatian pula dalam analisis ini.

Kedua, "Microanalysis”, yaitu cara yang sama dalam analisa makro, tetapi terbatas pada satu-dua alinea atau pada satu sub-bab maupun pada satu bab saja. Dalam analisa mikro, hal-hal yang menarik perhatian adalah segi-segi yang lebih subtil seperti karakterisasi personal (“orang itu baik” atau “buruk”) dan lainnya.

Ketiga, “analysis of structure”, yaitu memeriksa peralatan-peralatan yang esensial dalam penulisan sejarah seperti catatan (kaki atau belakang), kutipan dan daftar-daftar. Catatan kaki atau belakang sangat penting dalam penulisan sejarah karena merupakan suatu alat pembuktian bukan sekedar tambahan dari suatu penulisan.

“Historiografi NU?”
Dalam konteks “penjernihan sejarah” tersebut -kalau kita sepakat memakai istilah ini-, maka yang perlu dilakukan oleh NU adalah membuat historiografi ala NU yang pertama-tama harus meneliti kembali karya penulisan sejarah NU oleh para sejarawan Indonesia, para “indonesianis” maupun oleh orang NU sendiri seperti Chairul Anam, dengan menggunakan –antara lain- metode dari Hexter tadi.

Kedua, kalangan NU –terutama warga NU yang menjalani studi sejarah secara akademik- harus menulis tema-tema sejarah NU yang masih “terra incognita” seperti “Resolusi Jihad dan 10 November”, “Peristiwa 1965”, “Keterlibatan NU dalam Nasakom” maupun yang lebih kontemporer seperti episode kejatuhan Gus Dur dan sebagainya.

Penulisan sejarah itu seyogyanya mampu mendudukkan peranan NU secara proporsional tanpa simplifikasi, romantifikasi apalagi glorifikasi. Walaupun, atas nama “pengkaderan” dan “ideologisasi”, NU dapat saja membuat historiografi ala NU yang “subyektif”.

Pesan terpenting dari gegeran “PKI dan NU” ini tampaknya bukan pada kegigihan dan kemampuan kita menggali sumber-sumber sejarah yang melegitimasi kehendak kita, tapi lebih pada realitas sosial, bahwa NU kekurangan sumber daya manusia. Untuk “sekedar” isu sejarah pun, NU kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni yang mempunyai otoritas akademis untuk berbicara dan menulis atas nama “sejarawan” sekaligus atas nama “NU”. Apalagi untuk isu-isu lain seperti isu kedokteran, teknologi, ekonomi dan lain-lain. Apakah ada seorang ekonom yang mampu berbicara dan menulis atas nama “ekonom” sekaligus atas nama “NU”?

Mungkin ada, tapi mereka masih tercecer di kampus-kampus tanpa tahu alamat PBNU, PWNU dan PCNU. Itulah tugas PBNU dan struktur NU lainnya untuk mengorganisasi segenap sumber daya manusia intelektual NU.

Inilah mungkin, prioritas NU yang paling utama saat ini. Jangan-jangan isu “PKI dan NU” ini sengaja dihembuskan untuk mengalihkan fokus NU pada prioritas utamanya? Atau, jangan-jangan NU sekarang tidak punya fokus? Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun. (Alfanny, menamatkan kuliah S-1 Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995-2001 dengan Skripsi “Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)”). Tulisan ini, disusun untuk diskusi di NU Online, PBNU, Kamis 29 November 2012)
Sumber:situs resmi NU Pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cbox